Bagi penggiat demokrasi dan dosen hukum tata negara, wacana kampanye di lingkungan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi merupakan diskursus yang menarik. Namun sebelum dilegalisasi melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) perlu menimbang secara matang dengan terlebih dahulu mengajukan pertanyaan “Apakah kampanye di lingkungan kampus membawa manfaat, atau justru sebaliknya?”
Satu-satunya alasan yang mencuat mengapa kampus pada akhirnya akan menjadi tempat yang diperbolehkan untuk kegiatan kampanye ialah karena mahasiswa masuk dalam kategori pemilih muda yang harus diberikan pendidikan politik. Aturan pelaksanaannya yang masih dalam proses perancangan itu dibuat dengan ketat seperti kampanye dilakukan pada hari Sabtu dan Minggu, dilaksanakan pada ruangan/tempat yang tidak mengganggu proses belajar mengajar, dan tidak menggunakan atribut kampanye.
Harus diakui bahwa pendidikan politik yang dimaksud pada rancangan PKPU dan akan dipraktikkan oleh para calon anggota legislatif (caleg) membatasi diri pada urusan kepentingan caleg tertentu melalui pemaparan visi, misi, dan tujuan. Tidak melebar ke wilayah yang lebih luas dan lebih bermanfaat dalam pengertian pendidikan politik yang sesungguhnya yang meliputi pemberian pemahaman tentang konsep-konsep politik, demokrasi, hak asasi manusia, sistem politik dan lain sebagainya. Pendidikan politik melalui kampanye itu disekat menjadi ruang sempit yang diberi papan nama “ruang kepentingan”, dan dari sana lah segala kekusutan itu dimulai.
Pertama soal kesempatan. Dapat dipastikan bahwa tidak semua calon anggota legislatif baik pada tingkatan daerah kabupaten/kota maupun provinsi apalagi tingkat pusat (DPR) mendapatkan kesempatan yang sama menyampaikan visi, misi, dan tujuan kepada mahasiswa/calon pemilih. Alasannya kampus dengan mahasiswa yang banyak, yang akan menjadi tujuan para caleg, jumlahnya terbatas dan tidak sebanding dengan jumlah caleg yang ada. Hal itu bisa menjadi titik tolak para caleg melayangkan protes ke kampus. Apalagi dengan sistem pemilu proporsional terbuka yang diatur dalam Undang-Undang No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang dikuatkan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 114/PUU-XX/2022 membuat antar caleg dalam partai yang sama saling bersaing sehingga tidak dapat caleg tertentu merepresentasikan partainya.
Kedua permasalahan kesempatan merambat ke netralitas. Banyak kampus-kampus negeri diprediksi akan menjadi incaran para caleg melakukan kampanye. Sisi lain yang perlu diperhatikan ialah netralitas aparatur sipil negara dimana para pemangku kepentingan adalah mereka yang tunduk dan terikat pada UU No.5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Peraturan Pemerintah No.94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Kecemburuan para politisi yang tidak mendapat kesempatan dapat dijadikan sebagai bahan awal menggugat netralitas ASN para pemangku kepentingan.
Ketiga, kampanye di hari Sabtu dan Minggu dan dilaksanakan di tempat yang tidak mengganggu proses belajar mengajar juga kontradiktif dengan ide awal kampanye di kampus sebagai sarana pendidikan politik bagi mahasiswa. Seyogianya kampanye dengan jumlah hari yang terbatas itu dan merupakan kesempatan langka bagi mahasiswa dijadikan momentum untuk memobiliasi mahasiswa dalam rangka mendapatkan pendidikan politik.
Menutup tulisan singkat ini, melihat problem yang demikian kompleks maka perlu dipertimbangkan untuk mengatur kampanye di kampus. Ringkasnya Kampanye di kampus tidak perlu diatur secara eksplisit namun dibiarkan berjalan seperti sebelumnya yaitu kampus tidak dijadikan tempat kampanye namun diberikan kebebasan mengundang caleg untuk hadir dalam berbagai kegiatan diskusi akademik dalam kapasitasnya sebagai praktisi, akademisi, maupun aktivis. Selanjutnya biarkan mahasiswa menilai dan memutuskan untuk menentukan nasib caleg di bilik suara pada 14 Februari 2024.
0 Comments
Posting Komentar