Sabtu yang lalu (10/12) Saya diundang di salah satu sekolah yang ada di wilayah Lampung Tenggara. Diberikan microphone untuk berbicara tentang mengelola organisasi. Awalnya Saya enggan karena merasa 'masih hijau' soal mengelola organisasi. Tetapi alasan lain, karena menurut teman saya Jupri sebut saja begitu, Saya merupakan orang yang tepat karena tidak terafiliasi dengan banyak organisasi. Pertimbangan lainnya adalah karena Saya akademisi yang menurut pandangannya dalam waktu terakhir tidak terlibat dan melibatkan perasaan.
Saya pikir-pikir bisa juga si Jupri menggoda saya. Saya memang banyak dinilai tidak memiliki perasaan. Tapi bukan untuk semua konteks ya, hanya soal yang akademis Saya tentu saja harus membuang jauh-jauh perasaan supaya apa yang diputuskan tidak subjektif. Seperti Saya selalu mempersilahkan mahasiswa menghadiri kuliah meskipun minggu yang lalu saya mengusirnya dari kelas karena melanggar kontrak belajar.
Kembali ke sekolah, setelah selesai berbicara dan mendengarkan beragam pertanyaan dan diskusi saya ditagih kesimpulan. "Gimana Pak Dosen, apa diagnosa bagi sekolah ini?" Jupri bertanya. "Banyak anak kecil memimpin di sini" jawab saya. Jupri merespon dengan tertawa terbahak-bahak sambil sesekali memuncratkan ludahnya yang membuat saya harus menjauh dan berpikir kali ini dia sudah lumayan kelewatan.
Kenapa saya sampai pada kesimpulan tersebut? Sebelum menjawabnya, saya perlu untuk menjelaskan secara deskriptif mengenai sekolah tersebut karena sekolah itu lumayan besar. Jumlah siswanya belasan ribu meski tidak ada kelas. Maksudnya semua siswa dikelompokkan berdasarkan semester seperti halnya mahasiswa di kampus.
Dengan jumlah siswa sebanyak itu, tentu yang Saya bayangkan adalah pendapatan yang diperoleh Sekolah disamping dengan masalahnya yang pasti complicated. Tetapi masalah sebenarnya bukan itu, karena problem sesungguhnya ada pada para pengambil kebijakan yang sudah hampir 2 tahun tidak juga dapat mengucapkan kata "Kita" yang Saya ketahui setelah Jupri menjelaskannya. Mereka semua terjangkit mental disorder dengan menganggap dirinya jauh melebihi yang lain. Kepala sekolah menganggap dirinya pemimpin yang semua petuah dan idenya harus didengarkan meskipun kekurangan buah pikirannya itu di sana-sini, sedangkan wakil kepala sekolah menganggap dirinya cerdas melebihi kepala sekolah.
Untuk mendamaikan antara kepala sekolah dan wakil kepala sekolah, saya menjelaskan konsep kekuasaan dengan menisbatkan pengandaian yang dibuat oleh Aristoteles. Meskipun yang dimaksud oleh Aristoteles adalah konsep negara yakni antara "pemerintah" dan "yang diperintah", tetapi tetap relevan untuk dipakai di dalam organisasi yang kecil seperti sekolahan.
Bagi Aristoteles, model kekuasaan itu ada dua yaitu 1) model primitif seperti hubungan antara majikan dan budak yang memprioritaskan kepentingan majikan; dan 2) model rumah tangga seperti halnya orang tua dan anak-anak yang mementingkan kebaikan untuk anak-anak.
Model kedua dianggap ideal oleh banyak orang dimana para pemegang kekuasaan, para pemimpin, berperan seperti halnya orang tua, ibu dan bapak. Sementara pegawai dan siswa merupakan anak yang segala keputusan apapun ditujukan untuk kebaikan mereka. "Tetapi Bapak/Ibu harus tahu bahwa pengandaian kekuasaan model kedua tersebut bisa tidak ideal" Saya mencoba menegaskan.
Terdapat keluarga yang kalau bukan anaknya yang nakal maka orang tuanya yang nakal. Bila anak yang nakal, maka keluarga berpotensi selamat. Sebaliknya, jika orang tua yang nakal maka keluarga akan hancur dan anak-anak akan menjadi korban. Jangan biarkan momentum Anda "menjadi orang tua" di sekolah dinilai sebagai kecelakaan sejarah. Catatan buruk bagi generasi berikutnya dan anak-anak.
Menjawab pertanyaan judul tulisan ini "Mungkinkah Mendamaikan Kepala Sekolah dan Wakil Kepala Sekolah?". Jawabannya tentu mungkin, bila satu pihak menghilangkan sikap kekanak-kanakannya dan diikuti oleh pihak yang lain. "Malu lah dengan gelar yang mentereng, umur yang sudah tua, dan pengalaman yang katanya sudah banyak, Pak, Bu!" nasehat saya di ruangan kepala sekolah setelah selesai memberi paparan.
"Saya juga sebel Mas dengan bawahan-bawahan saya yang suka menyindir saya di sosmed" timpal Kepala Sekolah.
Ya bu, saya juga sudah tahu, sudah berumur juga kan orangnya, sudah doktor, menimba ilmu kemana-mana. Saya sudah dengar semuanya dari Mas Jupri.
0 Comments
Posting Komentar