Saya harus mengatakan bahwa penanganan kekerasan seksual di kampus sangat kusut. Akibatnya sampai hari ini seseorang yang diduga melakukan kekerasan seksual (kekerasan) masih bisa tersenyum, menerima gaji, dan belakangan diketahui pergi ke luar negeri. Sementara korban, sedang dilanda kesedihan, terluka, malu, dan merasa dirusak harga dirinya. Lalu apa kompensasi bagi korban? Tentu tidak ada materi yang dapat membayar setimpal penderitaan yang sedang dialami, akan tetapi untuk mengurangi penderitaannya kita dapat membantu dengan menyeret pelaku untuk diadili dan dihukum. Tapi melihat situasi sekarang ini, sulit rasanya mencapai semua itu.
Saya terus terang memang sedang pesimis terhadap segala proses penanganan kekerasan seksual di kampus karena seperti yang disampaikan, kekusutan itu masih berlangsung sampai detik ini. Padahal jika para pihak mengetahui apa yang harus dilakukan semua prosesnya akan berjalan mudah. Siapa para pihak yang saya maksud? Terdapat tiga pihak yaitu: pertama, pihak yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan kasus; kedua, pihak yang menerima laporan kasus, dan ketiga, pimpinan kampus.
Organ kampus terdiri dari rektor, fakultas, pascasarjana, biro, lembaga, dan unit. Siapapun yang diberikan amanah untuk menangani laporan terkait dengan kekerasan seksual maka harus dengan sigap menyelesaikan kasus tersebut. Yang terjadi justru sebaliknya, di kampus saya masih melihat bahwa karena berdasarkan Pasal 23 Keputusan Rektor No. 208 Tahun 2021 penerimaan laporan dilakukan oleh Unit Layanan Terpadu (ULT) yang belum terbentuk sampai hari ini, maka laporan kekerasan diterima oleh organ yang sama sekali tidak memiliki kompetensi.
Padahal, bila merujuk pada Pasal 20 di Keputusan Rektor yang sama ULT secara struktur berada di bawah Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA), oleh karena itu PSGA berwenang untuk menerima laporan kekerasan sampai terbentuknya ULT. Jadi, tidak perlu ragu untuk mengumumkan kepada warga kampus bahwa PSGA menerima laporan dugaan kekerasan dan menindaklanjutinya. Akan tetapi bila menunggu sampai ULT terbentuk, maka PSGA telah mengabaikan keadilan, alih-alih melindungi dan berpihak pada korban. Demikian pula jika terdapat organ kampus yang menerima laporan dugaan kekerasan, PSGA harus berani mengatakan bahwa mereka (organ) tidak memiliki kewenangan.
Menyambung sebelumnya, bahwa pihak kedua yang turut menjadi penyebab kusutnya penanganan kekerasan dikampus ialah mereka yang menerima laporan kekerasan meski tidak memiliki kewenangan. Tindakan tersebut mencerminkan ketidaktahuan terhadap proses dan telah menimbulkan kekacauan dalam penegakan hukum di kampus. Tidak terdapat argumentasi apapun yang dapat membenarkan tindakan organ menerima suatu laporan sementara di sisi lain tidak diberikan kewenangan untuk menyelesaikannya. Kecuali, terhadap persoalan ini, bila diduga terdapat upaya untuk menghalang-halangi dan menguburkan kasus.
Selanjutnya pihak ketiga adalah pimpinan kampus. Melihat kekacauan ini semestinya pimpinan kampus berinisiatif untuk mengakhiri, menegaskan, dan mendukung upaya penegakan hukum. Bukan diam dan menunggu karena akan menimbulkan persepsi publik bahwa pimpinan tidak memiliki kemauan untuk menyelesaikan kekerasan karena menyangkut reputasi kampus-yang sebenarnya sudah tidak relevan, atau kemudian ada yang mencurigai bahwa diamnya pimpinan disebabkan oleh adanya konflik kepentingan.
Menutup tulisan yang singkat ini saya ingin mengingatkan kita semua bahwa mungkin hari ini anak orang lain yang mengalami kekerasan, tapi sangat mungkin ke depan anak atau saudara Anda yang mengalami karena pelaku kekerasan masih terus dibiarkan (tidak dihukum).
2 Comments
Matur nuwun ilmunya mas. Mugi berkah
BalasHapusHihihi
HapusPosting Komentar