Mawar
Nikah, di Indonesia masih menjadi sesuatu hal yang sangat mulia lagi dijunjung tinggi oleh siapapun: remaja yang lagi kasmaran, jomblo berkarat─tapi bukan 24 karat, sampai janda-janda yang jatuh cinta lagi, semuanya bermimpi untuk merayakan cinta lewat pernikahan.

Bila dipikir fenomena ini sangatlah indah, tentunya jika dibandingkan dengan sebagian komunitas di negara yang ada di belahan dunia lain yang tidak lagi tertarik untuk menikah. Gak bikin kaget karena memang mereka sudah bisa akses apa yang boleh dilakukan oleh orang timur setelah akad, yakni berhubungan seks.

Nikah memang identik dengan berhubungan seks. Bahkan nikah (na-ka-kha─bahasa Arab) berarti melakukan persetubuhan. Orang yang pingin cepet-cepet nikah, atau orang yang tembangan-nya nikah sebenarnya sedang meng-eufemisme hasrat untuk bersetubuh.

Tapi apa jadinya jika orang Indonesia yang menjunjung tinggi budaya ketimuran mau menikah dengan orang yang sudah melakukan hubungan seksual di luar pernikahan?

Inilah yang dipersoalkan oleh Hakim Binsar, hakim yang ikut nyerocosin Jessica Kumala Wongso pada kasus Kopi Sianida. Menurutnya, agar tingkat perceraian bisa dikurangi maka harus ada tes keperawanan dan keperjakaan bagi kedua mempelai sebelum melaksanakan prosesi akad pernikahan.

Dalam tulisan ini, saya tidak akan ikut menyerang Pak Hakim, baik dengan formasi 4-2-3-1,  apalagi “jurus” 212. Saya hanya mewakili para bujang, tapi atas klaim pribadi. Hehehe.

Beberapa tanggapan saya adalah:

Pertama, terima kasih untuk Pak Hakim Binsar yang mengeluarkan pendapat yang tidak populer itu. Bukan atas nama “apresiasi” atas ide yang diskriminatif macam tu, tapi lebih pada kepekaan pak Hakim dalam membela hak-hak  para jomblo akut yang jangankan pernah “me-Ranjang” dengan wanita yang belum dinikahinya, nongkrong di Happy Ice Cream belakang kampus bersama seseorang yang dia sebut sebagai pacar saja belum pernah!

Kedua, sebagai hakim yang punya kesempatan untuk duduk dan berkantor di Jalan Medan Merdeka Utara─Mahkamah Agung, Pak Binsar harus mempertimbangkan lagi, kalau perlu merevisi usulan tes keperawanan. Bayangkan nasib buah apel yang ranum setelah digigit!  Hanya ada dua orang yang akan memutuskan untuk memakannya; yaitu orang yang menggigitnya; dan orang yang benar-benar lapar. Efek paling mengerikan adalah tidak ada yang mau memakannya sama sekali!

Ketiga, tes keperawanan  itu mahal. Kalau kata pak hakim tes keperawanan dilakukan dalam bahasa keterbukaan kepada orang tua,  “Mah, Pah, aku sudah gak perawan lagi” itu sama saja mengharapkan Firaun membangun kembali dinasti di Mesir, mahal dan muhal, alias mustahil. Selain berpotensi diusir dari rumah karena kebetulan bapaknya Imam Masjid, juga kemungkinan tes keperawanan secara medis atas usulan calon mertua. Ribet kan? Mahal kan?

Jadi kesimpulannya, meski secara kasat mata usulan tes keperawanan terlihat memihak para bujang, tapi sama sekali kami tidak mendukung.

Tidak lengkap rasanya kalau menggelontorkan opini tapi tidak memberi solusi. Maka saya secara pribadi merasa bertanggung jawab untuk memberikan jalan keluar.

Begini, untuk mendeteksi seorang gadis perawan atau tidak, seorang bujang hanya perlu belajar sedikit saja, tanpa medis, tanpa biaya, namun dengan hasil yang sangat akurat,  yakni 99,99%. Ini tidak ada kaitannya dengan jam terbang pacaran, atau seberapa banyak perempuan yang dia kenal.
Siapapun dapat melakukannya.

Sejujurnya saya tidak terlalu berhasrat untuk membagikan cara mendeteksi keperawanan yang disebut dengan “Perawanologi”.  Tapi mengingat “binal”nya ide tersebut dan efeknya yang berbahaya maka saya merasa perlu untuk membagikannya.

Setelah kajian dan penelitian tiada henti dapat diringkas bahwa dalam mendeteksi keperawanan cukup hanya dengan dua cara yaitu: (1) Tanyakanlah kepada para sahabat atau tetangganya apakah si gadis pernah menggelar pesta perkawinan dan duduk dengan mempelai laki-laki. (2) lihatlah perutnya, apakah buncit karena hamil. Jika dua cara itu pada kesimpulannya ditemukan jawaban “sudah”  maka dapat dipastikan 99,99% perempuan tersebut sudah tidak perawan lagi.
Sekian!